Perang Pandan Desa Tenganan Bali

Kamis, 13 Oktober 2016


Indonesia Wow Banget - Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Perang Pandan disebut juga mekare-kare. Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan. Desa ini masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng. Benteng tersebut mempunyai empat pintu masuk dengan sistim penjagaan, sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.


Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan mereka tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.


Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam. Bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.


Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada bulan kelima pada kalender Bali. Dan ini merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan) untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput) dan ikat kepala (udeng) tanpa baju bertelanjang dada.

Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.


Sebelum Perang Pandan dimulai,diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Saat upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku Widia pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.


Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.
Foto by google